Selasa, 13 Mei 2008

Menjaring Berkah Laut

Sebagai bangsa yang memiliki julukan negara maritim dan kepulauan terbesar di dunia tentunya dalam setiap aspek kehidupan berbangsa dan bernegara haruslah mengacu/melandaskan pada sektor maritim. Namun dirasa-rasa sampai saat ini cita-cita tersebut masih jauh. Pasalnya berkah yang melimpah di laut belum sepenuhnya menjadikan seluruh rakyat Indonesia menjadi sejahtera dan makmur, bahkan masih menyisakan persoalan kronis yang tak kunjung terselesaikan yakni kemiskinan yang melilit hampir 70% nelayan Indonesia. Kondisi ini menandakan bahwa kita masih memandang laut sebelah mata.

Masih jauhnya sektor kelautan diperhitungkan oleh pemerintah terlihat jelas di lapangan, salah satunya adalah maraknya kegiatan penangkapan ikan secara ilegal, tidak mengikuti peraturan dan tidak dilaporkan (illegal, unregulated, and unreported fishing practices) oleh nelayan asing. Lemahnya pengawasan dan evaluasi di lapangan oleh pemerintah mengakibatkan kerugian negara yang tidak sedikit, diperkirakan negara dirugikan paling tidak sedikitnya sekitar US$ 4 milliar (sekitar 38 triliun) setiap tahunnya.

Permasalahan ini tidak lepas dari kurangnya perhatian pemerintah dan masyarakat Indonesia terhadap sektor ekonomi maritim khususnya subsektor perikanan tangkap, kurangnya alokasi dana APBN, sedikitnya curahan kredit investasi dan modal usaha, minimnya sarana dan prasarana pelabuhan perikanan dan tidak memadainya berbagai infrastruktur penunjang lainnya seperti jalan, listrik, air bersih, telekomunikasi, bank, sekolah dan pasar menjadi penyebab kenapa sektor perikanan tangkap tidak mampu bersaing dan malah menyisakan kemiskinan sebagian besar nelayan Indonesia.

Kenaikan harga BBM dan minimnya armada tangkap juga menjadi biang keladi subsektor perikanan tangkap menjadi tidak berjalan dengan baik. Menurut data Food Outlook (FAO, 2007) produksi perikanan tangkap Indonesia mengalami penurunan sebesar 4,55%. Sebagai gambaran produksi penangkapan udang pada tahun 2005 tercatat produksi sebesar 5.693, tahun 2006 sebesar 4.930 dan pada tahun 2007 kembali merosot pada angka 3.803 ton (HPPI, 2008). Demikian halnya pada produksi penangkapan tuna juga mengalami penurunan.

Strategi Pengelolaan

Berpijak pada berbagai persoalan bangsa dan khususnya perikanan tangkap, dan potensi sumberdaya ikan di laut, serta era globalisasi dan desentralisasi maka untuk mewujudkan ketangguhan perekonomian maritim nasional khususnya perikanan tangkap, maka diperlukan beberapa strategi atau kebijakan yang komprehensif yaitu antara lain adalah sebagai berikut.

Pertama, menegaskan kembali bahwa laju penangkapan ikan di suatu wilayah pengelolaan perikanan tidak melampaui jumlah tangkapan yang di perbolehkan (JTB). JTB untuk wilayah perairan nasional adalah sebesar 5,12 juta ton/tahun dihitung dari 80% potensi lestari yaitu sebesar 6,4 juta ton/tahun. Sedangkan saat ini kondisi produksi perikanan tangkap telah mencapai 4,7 juta ton/tahun, jadi peluang pengembangan usaha penangkapan sudah mulai terbatas. Bahkan beberapa wilayah telah mengalami jenuh tangkap, dan malahan telah mengalami overfishing.

Oleh karena itu wilayah yang telah mengalami overfishing harus segera dilakukan revitalisasi dengan melakukan penghentian aktivitas penangkapan dalam jangka waktu tertentu di wilayah pengelolaan tersebut. Hal ini dimaksudkan agar kondisi sumberdaya ikan di wilayah overfishing tersebut dapat kembali pulih seperti semula.

Kedua, melakukan modernisasi armada tangkap. Modernisasi perikanan tangkap meliputi kapal ikan, maupun alat tangkap yang mana kesemuanya harus sesui dengan karakteristik dan dinamika perairan nasional. Selain itu armada juga perlu dilengkapi dengan sistem komputer, GPS, peta perkiraan lokasi ikan, fish finder dan peralatan lainnya sehingga dapat lebih mengoptimalkan produksi serta efisien. Sementara saat ini kondisi kapal-kapal ikan modern Indonesia masih terbatas, dari 146.330 unit kapal motor hanya 9%-nya saja yang tergolong modern (30 GT keatas), dan yang dapat/mampu beroperasi di ZEEI (100 GT keatas) hanya 1.740 unit (0,3%). Dengan demikian nelayan kita masih terus berada dalam kemiskinan sementara kapal asing (yang notaben-nya kapal modern 100GT ketas) melakukan pencurian ikan di wilayah laut Indonesia.

Ketiga, adalah merasionalisakian jumlah nelayan Indonesia, hal ini dilakukan seiring dengan modernisasi armada tangkap. Saat ini jumlah nelayan kita adalah sebesar 3,4 juta orang, padahal idealnya jumlah nelayan kita adalah sebesar 2,2 juta jiwa. Hal ini didasarkan pada perhitungan bahwa nelayan akan sejahtera bila pendapatannya 2 juta/orang/bulan (standar garis kemiskinan Bank Dunia) sehingga dengan JTB sebesar 5,12 juta ton/tahun dan harga rata-rata komoditas perikanan yang seperti saat ini maka jumlah nelayan yang ideal adalah sebesar 2,2 juta orang. Pengurangan jumlah nelayan ini dilakukan dengan menciptakan lapangan pekerjaan baru seperti seperti perikanan budidaya, industri pengolahan ikan dll.

Keempat, melakukan industrialisasi dan manajemen modern dalam usaha perikanan tangkap. Dalam hal ini pemerintah harus segera merealisasikan perbaikan dan pembangunan pelabuhan perikanan sebagai kluster industri perikanan terpadu. Pelabuhan perikanan sangat penting dalam produktivitas dan efisiensi perikanan tangkap. Saat ini yang mendesak untuk segera dilakukan adalah perbaikan sejumlah pelabuhan perikanan di wilayah terluar (outer fishing ports) seperti di Sabang, Tarempa (Kep. Natuna), Pemangkat dan Pontianak (Kalbar), Tual, Biak, serta Bitung, untuk melayani kapal ikan yang beroperasi di wilayah ZEEI, laut dalam dan di wilayah perbatasan. Namun tak kalah pentingnya juga adalah membangun pelabuhan perikanan baru di wilayah terluar lainnya.

Upaya perbaikan dan pembangunan pelabuhan tersebut pada kenyataanya akan sangat menunjang sistem rantai dingin (cold chain system) dalam perikanan tangkap, mengingat ikan termasuk komoditas yang mudah busuk. Dengan memperkuat dan mengembagkan sistem rantai dingin maka produk-produk perikanan tangkap tersebut dapat terus bernilai ekonomi tinggi, dan tentunya akan meningkatkan daya saing produk perikanan kita di tingkat perdagangan internasional.

Untuk dapat menunjang manajemen perikanan tangkap yang modern maka penerapan IPTEK terapan, peryempurnaan basis data dan informasi perikanan tangkap akan sangat membantu efisiensi dan produktivitas mereka. Sebab data dan informasi akan sangat penting bagi pengambilan keputusan oleh para pengambil kebijakan seperti pemerintah, DPR, swasta dan masyarakat itu sendiri.

Kelima, penguatan kawasan konservasi dan melakukan usaha penanggulangan pencemaran laut serta rehabilitasi ekosistem pesisir. Ini penting dilakukan karena kawasan konservasi akan sangat penting bagi kelangsungan usaha perikanan tangkap, sebab wilayah perairan di sekitar kawasan konservasi produktivitas perikanannya akan meningkat secara signifikan. Demikian pula dengan semakin baiknya kualitas air di wilayah pesisir juga kan mempengaruhi hasil perikanan, sebab kurang lebih 85% biota laut tropis sebagian atau seluruhnya akan sangat bergantung pada ekosistem pesisir.

Bahan Bakar

Keseluruhan starategi diatas tidak akan mampu berjalan dengan baik tanpa adanya upaya pemerintah dalam mengatasi permasalahan bahan bakar, sebab bahan bakar akan menghabiskan hampir separuh modal untuk sebuah kapal beropersi. Oleh karena itu, untuk mengatasi langka dan mahalnya bahan bakar pemerintah dapat membantu nelayan melalui program subsidi BBM yang tepat sasaran dan terencana serta pengendalian secara ketat sehingga penyalahgunaan BBM oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab tidak terjadi seperti kasus beberapa waktu lalu.

Selain pemberian subsidi pemerintah juga dapat memberikan alternatif lain kepada nelayan dengan mengembangkan bahan bakar berbasis biofiuel. Pengembangan biofiuel ini hendaknya melibatkan nelayan sepenuhnya, ini dimaksudkan untuk menciptakan kemandirian energi bagi nelayan. Oleh karena itu pemerintah hendaknya tidak perlu ragu-ragu lagi dalam merealisasikan biofiuel bagi nelayan dan masyarakat pesisir.

Ilegal fishing

Permasalahan perikanan tangkap yang masih menghantui pemerintah saat ini adalah maraknya aktivitas ilegal di wilayah perairan Indonesia. Oleh karenanya pemerintah harus tegas dalam melakukan penindakan terhadap IUU fishing practices. Untuk menanggulanginya pemerintah harus segera mengimplementasikan sistem MCS (Monitoring, Controling, and Surveillance) yang terdiri atas VMS (Vesel Monitoring System), kapal patroli, pesawat patroli, sentral komputer pengendali, dan Siswasmas (Sistem Pengawasan Berbasis Masyarakat) secara efektif.

Selain beberapa langkah penangulan ilegal fishing tersebut diatas pemerintah juga perlu melakukan evaluasi terhadap beberapa kebijakan yang masih dianggap bolong-bolong.

Dengan menjalankan berbagai strategi tersebut diatas secara komprehensif, konsisten dan berkelanjutan maka potensi ikan yang ada di laut Nusantara niscaya akan menjadi kemakmuran seluruh masyarakat Indonesia. Akan tetapi kesuksesan pembagunan perikanan nasional tidak akan munkin terjadi jika tidak ada peranan yang signifikan dari lembaga-lembaga keuangan, perdagangan dan fiskal-moneter serta kebijakan sosial politik Indonesia.

Tidak ada komentar: